Jumat, 18 September 2015

Ebiet G Ade Pembaca Puisi Mahal

Ebiet G Ade

Ebiet G. Ade (lahir di Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah, 21 April 1954; umur 61 tahun) adalah seorang penyanyi dan penulis lagu berkewarganegaraan Indonesia. Ebiet dikenal dengan lagu-lagunya yang bertemakan alam dan duka derita kelompok tersisih. Lewat lagu-lagunya yang ber-genre balada, pada awal kariernya, ia memotret suasana kehidupan Indonesia pada akhir tahun 1970-an hingga sekarang. Tema lagunya beragam, tidak hanya tentang cinta, tetap ada juga lagu-lagu bertemakan alam, sosial-politik, bencana, religius, keluarga, dll. Sentuhan musiknya sempat mendorong pembaruan pada dunia musik pop Indonesia. Semua lagu ditulisnya sendiri, ia tidak pernah menyanyikan lagu yang diciptakan orang lain, kecuali lagu Surat dari Desa yang ditulis oleh Oding Arnaldi dan Mengarungi Keberkahan Tuhan yang ditulis bersama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kehidupan pribadi
Terlahir dengan nama Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far di Wanadadi, Banjarnegara, merupakan anak termuda dari 6 bersaudara, anak Aboe Dja'far, seorang PNS, dan Saodah, seorang pedagang kain. Dulu ia memendam banyak cita-cita, seperti insinyur, dokter, pelukis. Semuanya melenceng, Ebiet malah jadi penyanyi -- kendati ia lebih suka disebut penyair karena latar belakangnya di dunia seni yang berawal dari kepenyairan[2].

Setelah lulus SD, Ebiet masuk PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) Banjarnegara. Sayangnya ia tidak betah sehingga pindah ke Yogyakarta. Sekolah di SMP Muhammadiyah 3 dan melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Di sana ia aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia). Namun, ia tidak dapat melanjutkan kuliah ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada karena ketiadaan biaya. Ia lebih memilih bergabung dengan grup vokal ketika ayahnya yang pensiunan memberinya opsi: Ebiet masuk FE UGM atau kakaknya yang baru ujian lulus jadi sarjana di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Nama Ebiet didapatnya dari pengalamannya kursus bahasa Inggris semasa SMA. Gurunya orang asing, biasa memanggilnya Ebiet, mungkin karena mereka mengucapkan A menjadi E. Terinspirasi dari tulisan Ebiet di bagian punggung kaos merahnya, lama-lama ia lebih sering dipanggil Ebiet oleh teman-temannya. Nama ayahnya digunakan sebagai nama belakang, disingkat AD, kemudian ditulis Ade, sesuai bunyi penyebutannya, Ebiet G. Ade. Kalau dipanjangkan, ditulis sebagai Ebiet Ghoffar Aboe Dja'far.

Sering keluyuran tidak keruan, dulu Ebiet akrab dengan lingkungan seniman muda Yogyakarta pada tahun 1971. Tampaknya, lingkungan inilah yang membentuk persiapan Ebiet untuk mengorbit. Motivasi terbesar yang membangkitkan kreativitas penciptaan karya-karyanya adalah ketika bersahabat dengan Emha Ainun Nadjib (penyair), Eko Tunas (cerpenis), dan E.H. Kartanegara (penulis). Malioboro menjadi semacam rumah bagi Ebiet ketika kiprah kepenyairannya diolah, karena pada masa itu banyak seniman yang berkumpul di sana.

Meski bisa membuat puisi, ia mengaku tidak bisa apabila diminta sekedar mendeklamasikan puisi. Dari ketidakmampuannya membaca puisi secara langsung itu, Ebiet mencari cara agar tetap bisa membaca puisi dengan cara yang lain, tanpa harus berdeklamasi. Caranya, dengan menggunakan musik. Musikalisasi puisi, begitu istilah yang digunakan dalam lingkungan kepenyairan, seperti yang banyak dilakukannya pada puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Beberapa puisi Emha bahkan sering dilantunkan Ebiet dengan petikan gitarnya. Walaupun begitu, ketika masuk dapur rekaman, tidak sebiji pun syair Emha yang ikut dinyanyikannya. Hal itu terjadi karena ia pernah diledek teman-temannya agar membuat lagu dari puisinya sendiri. Pacuan semangat dari teman-temannya ini melecut Ebiet untuk melagukan puisi-puisinya.

Karier
Ebiet G. Ade bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ebiet pertama kali belajar gitar dari kakaknya, Ahmad Mukhodam, lalu belajar gitar di Yogyakarta dengan Kusbini. Semula ia hanya menyanyi dengan menggelar pentas seni di Senisono, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta dan juga di Jawa Tengah, memusikalisasikan puisi-puisi karya Emily Dickinson, Nobody, dan mendapat tanggapan positif dari pemirsanya. Walau begitu ia masih menganggap kegiataannya ini sebagai hobi belaka. Namun atas dorongan para sahabat dekatnya dari PSK (Persada Studi Klub yang didirikan oleh Umbu Landu Paranggi) dan juga temannya satu kos, akhirnya Ebiet bersedia juga maju ke dunia belantika musik Nusantara. Setelah berkali-kali ditolak di berbagai perusahaan rekam, akhirnya ia diterima di Jackson Record pada tahun 1979.

Jika semula Ebiet enggan meninggalkan pondokannya yang tidak jauh dari pondok keraton, maka fakta telah menunjuk jalan lurus baginya ke Jakarta. Ia melalui rekaman demi rekaman dengan sukses. Sempat juga ia melakukan rekaman di Filipina untuk mencapai hasil yang lebih baik, yakni album Camellia III. Tetapi, ia menolak merekam lagu-lagunya dalam bahasa Jepang, ketika ia mendapat kesempatan tampil di depan publik di sana.

Pernah juga ia melakukan rekaman di Capitol Records, Amerika Serikat, untuk album ke-8-nya Zaman. Ia menyertakan Addie M.S. dan Dodo Zakaria sebagai rekan yang membantu musiknya.

Lagu-lagunya menjadi trend baru dalam khasana musik pop Indonesia. Tak heran, Ebiet sempat merajai dunia musik pop Indonesia di kisaran tahun 1979-1983. Sekitar 7 tahun Ebiet mengerjakan rekaman di Jackson Record. Pada tahun 1986, perusahaan rekam yang melambungkan namanya itu tutup dan Ebiet terpaksa keluar. Ia sempat mendirikan perusahaan rekam sendiri EGA Records, yang memproduksi 3 album, Menjaring Matahari, Sketsa Rembulan Emas, dan Seraut Wajah.

Sayang, pada tahun 1990, Ebiet yang "gelisah" dengan Indonesia, akhirnya memilih "bertapa" dari hingar bingar indutri musik dan memilih berdiri di pinggiran saja. Baru pada tahun 1995 ia mengeluarkan album Kupu-Kupu Kertas (didukung oleh Ian Antono, Billy J. Budiardjo (alm), Purwacaraka, dan Erwin Gutawa) dan Cinta Sebening Embun (didukung oleh Adi Adrian dari KLa Project). Pada tahun 1996 ia mengeluarkan album Aku Ingin Pulang (didukung oleh Purwacaraka dan Embong Rahardjo). Dua tahun berikutnya ia mengeluarkan album Gamelan yang memuat 5 lagu lama yang diaransemen ulang dengan musik gamelan oleh Rizal Mantovani. Pada tahun 2000 Ebiet mengeluarkan album Balada Sinetron Cinta dan tahun 2001 ia mengeluarkan album Bahasa Langit, yang didukung oleh Andi Rianto, Erwin Gutawa dan Tohpati. Setelah album itu, Ebiet mulai lagi menyepi selama 5 tahun ke depan.

Ebiet adalah salah satu penyanyi yang mendukung album Kita Untuk Mereka, sebuah album yang dikeluarkan berkaitan dengan terjadinya tsunami 2004, bersama dengan 57 musisi lainnya. Ia memang seorang penyanyi spesialis tragedi, terbukti lagu-lagunya sering menjadi tema bencana.

Pada tahun 2007, ia mengeluarkan album baru berjudul In Love: 25th Anniversary (didukung oleh Anto Hoed), setelah 5 tahun absen rekaman. Album itu sendiri adalah peringatan buat ulang tahun pernikahan ke-25-nya, bersama pula 13 lagu lain yang masih dalam aransemen lama.

Kemunculan kembali Ebiet pada 28 September 2008 dalam acara Zona 80 di Metro TV cukup menjadi obat bagi para penggemarnya. Dengan dihadiri para sahabat di antaranya Eko Tunas, Ebiet G Ade membawakan lagu lama yang pernah popular pada dekade 80-an.

Singles
Sebagian besar lagu Ebiet G. Ade didasarkan tentang bencana. Di bulan Juni 1978, ia menulis " Berita Kepada Kawan " setelah bencana gas beracun di Dataran Tinggi Dieng. Pada tahun 1981, ia menulis " Sebuah Tragedi 1981 " mengenai tenggelamnya KMP Tampomas II di Kepulauan Masalembu. Setelah letusan Gunung Galunggung pada 1982, ia menulis " Untuk Kita Renungkan ". Lagu " Masih Ada Waktu " juga didasarkan saat kejadian kecelakaan kereta api Bintaro.

Keluarga
Menikah dengan Koespudji Rahayu Sugianto (atau lebih dikenal sebagai Yayuk Sugianto, kakak penyanyi Iis Sugianto) pada tanggal 4 Februari 1982, ia dikaruniai 4 anak, 3 laki-laki dan 1 perempuan:

Abietyasakti "Abie" Ksatria Kinasih (lahir 8 Desember 1982)
Aderaprabu "Dera" Lantip Trengginas (lahir 6 Januari 1986)
Byatriasa "Yayas" Pakarti Linuwih (lahir 6 April 1987)
Segara "Dega" Banyu Bening (lahir 11 Desember 1989).
Mereka bertempat tinggal di kawasan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.. Anak sulung Ebiet, Abie juga memiliki bakat musik, dan sering mewakili Ebiet dalam mengecek sound system menjelang ayahnya manggung. Anak keduanya pun sudah merambah ke dunia musik, dan dikenal dengan nama panggung Adera. Ebiet juga seorang penggemar golf, namun sejak terjadinya bencana tsunami 2004, ia tidak pernah lagi main golf.

Reuni 4E
Sejak berpisah selama lebih dari 30 tahun lantaran menjalani kehidupan masing-masing, empat sekawan yang terdiri Ebiet G. Ade, Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, dan E.H. Kartanegara akhirnya dipertemukan kembali dalam sebuah acara Reuni 4E yang diselenggarakan oleh CressinDo Press di Taman Budaya Tegal, 6 April 2013, bersamaan dengan peluncuran buku kumpulan cerita pendek (cerpen) Tunas, karya Eko Tunas

MemBers EGA
Sejak merilis album pertama sampai sekarang, Ebiet tidak pernah kehilangan penggemar. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan sebagaian berada di luar negeri. Kelompok nirlaba itu bernama MemBers EGA (Membumi Bersama Ebiet G. Ade). Selain menjadi ajang apresiasi, komunitas ini dibentuk untuk menjalin komunikasi, kekerabatan, dan persaudaraan antar sesama pencinta lagu Ebiet. Tak jarang Ebiet beserta keluarganya terlibat langsung dalam kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh komunitas itu, antara lain penanaman pohon dan penyerahan bantuan di daerah bencana

Diskografi
Tidak seluruh album yang dikeluarkan Ebiet G. Ade berisi lagu baru. Pada tahun-tahun terakhir, ia sering mengeluarkan rilis ulang lagu-lagu lamanya, baik dengan aransemen asli maupun dengan aransemen ulang. Dan pada tahun-tahun terakhir Ebiet banyak memilih berkolaborasi dengan musisi-musisi berbakat.

Jumlah album kompilasinya yang dikeluarkan melebihi album studionya. Sejauh ini terdapat sedikitnya 25 album kompilasinya yang diterbitkan oleh berbagai perusahaan rekam.

Album studio
Camellia I (1979)
Camellia II (1979)
Camellia III (1980)
Camellia 4 (1980)
Langkah Berikutnya (1982)
Tokoh-Tokoh (1982)
1984 (1984)
Zaman (1985)
Isyu! (1986)
Menjaring Matahari (1987)
Sketsa Rembulan Emas (1988)
Seraut Wajah (1990)
Kupu-Kupu Kertas (1995)
Cinta Sebening Embun (1995)
Aku Ingin Pulang (1996)
Gamelan (1998)
Balada Sinetron Cinta (2000)
Bahasa Langit (2001)
In Love: 25th Anniversary (2007)
Masih Ada Waktu (2008)
Tembang Country 2 (2009)
Serenade (2013)
Kompilasi
Lagu-Lagu Terbaik I Ebiet G. Ade (1987)
Lagu-Lagu Terbaik II Ebiet G. Ade (1987)
Lagu-Lagu Terbaik III Ebiet G. Ade (1987)
Lagu-Lagu Terbaik IV Ebiet G. Ade (1987)
20 Lagu Terpopuler Ebiet G. Ade (1988)
Perjalanan Vol. I (1988)
Perjalanan Vol. II (1988)
Seleksi Album Emas (1990)
Seleksi Album Emas II (1994)
16 Lagu Puisi Cinta Ebiet G. Ade (1995)
Kumpulan Lagu-Lagu Religius (1996)
Hidupku MilikMu - Kumpulan Lagu-Lagu Religius Vol. II (1996)
21 Tembang Puisi Dan Kehidupan (1996)
20 Lagu Terpopuler (1997)
Lagu-Lagu Terbaik (1997)
Renungan Reformasi (1997)
16 Koleksi Terlengkap Ebiet G. Ade (1997)
12 Lagu Terbaik Ebiet G. Ade (1979-1986; 1997)
12 Lagu Terbaik Ebiet G. Ade Volume II (1979-1986; 1997)
Ilham Seni (1998)
Best of the Best (1999)
Akustik (2001)
Balada Country (2002)
M. Nasir vs Ebiet G. Ade - Penyair Nusantara (2002)
Nyanyian Cinta (2003)
Tembang Renungan Hati (2003)
Tembang Slow (2004)
Kumpulan Lagu-Lagu Terbaik (2004)
22 Lagu Hits Sepanjang Masa (2005)
Yogyakarta (2006)
Tembang Cantik (2006)
Lagu dari album lain
Untuk Anakku Tercinta (1982) dalam album "ASEAN Pop Song Festival ke 2".
Surat Dari Desa (1987) dalam album "Lomba Cipta Lagu Pembangunan 1987" ditulis oleh Oding Arnaldi.
Berita kepada Kawan (1995; versi duet dengan M. Nasir)
Mengarungi Keberkahan Tuhan (2007; ditulis bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) dalam album "Rinduku Padamu".
Penghargaan
Ebiet G. Ade telah menerima sejumlah penghargaan, antara lain

18 Golden dan Platinum Record dari Jackson Record dan label lainnya dari album Camellia I hingga Isyu!
Biduan Pop Kesayangan PUSPEN ABRI (1979-1984)
Pencipta Lagu Kesayangan Angket Musica Indonesia (1980-1985)
Penghargaan Diskotek Indonesia (1981)
10 Lagu Terbaik ASIRI (1980-1981)
Penghargaan Lomba Cipta Lagu Pembangunan (1987)
Penyanyi kesayangan Siaran Radio ABRI (1989-1992)
BASF Awards (1984 - 1988)
Penyanyi solo dan balada terbaik Anugerah Musik Indonesia (1997)
Lagu Terbaik AMI Sharp Award (2000)
Planet Muzik Awards dari Singapura (2002)
Penghargaan Lingkungan Hidup (2005)
Duta Lingkungan Hidup (2006)
Penghargaan Peduli Award Forum Indonesia Muda (2006)
Sejumlah penghargaan dari berbagai lembaga independen.
Catatan dan rujukan
^ Beberapa sumber menyebutkan bahwa Ebiet lahir di Banyumas. Banyumas sebenarnya adalah sebuah karesidenan, sementara ia lahir di wilayah Kabupaten Banjarnegara
^ "EBIET G. ADE: Apresiasi Musik Indonesia Menurun". Djarum Super Music. Diakses tanggal 22-07-2007.
^ "Ebit G Ade, Bermusik Karena Tak Ada Kegiatan Lain". Minggu Pagi Online. Diakses tanggal 16-06-2007.
^ "Ebiet G. Ade: Nggak Ada Istri, Nyanyi Jadi Nggak Asyik". Republika Online. Diakses tanggal 15-06-2007.
^ "Mozaik Jejak Langkah Ebiet G. Ade". Ebiet G. Ade Official Website. Diakses tanggal 26-06-2007.
^ "Perjalanan Ebiet G. Ade: Cerita Masa Lalu, Ketika Langit di Yogya Masih Biru". Minggu Pagi Online. Diakses tanggal 16-06-2007.
^ "Ebiet G. Ade: Kembali Mambaca Tanda Zaman Lewat Album Baru". Kabar Indonesia. Diakses tanggal 15-06-2007.
^ http://www.beritasatu.com/musik/107406-reuni-4e-nostalgia-persahabatan-empat-dekade.html Berita satu, diakses 29 Januari 2015
^ http://koran.tempo.co/konten/2013/04/05/305936/Ebiet-dan-Cak-Nun-Reuni-4E Koran Tempo, Diakses 29 Januari 2015
^ http://satelitnews.co/ebiet-beri-bantuan-untuk-korban-longsor/ Satelit News, diakses 29 Januari 2015
^ http://www.aktual.co/sosial/085608ebiet-g-ade-luncurkan-album-anyar-di-malam-tahun-baru Aktual, diakses 29 Januari 2015
^ "Biodata Ebiet G. Ade". Ebiet G. Ade Official Website. Diakses tanggal 22-07-2007.
Pranala luar
(Indonesia) Ebiet G. Ade Official Website
(Indonesia) Profil di KapanLagi.com
(Indonesia) Apa dan Siapa - Abdul Gafar Abdullah (Ebiet G. Ade)
(Melayu) Muzik Nusantara - Ebiet G. Ade
(Inggris) Ebiet G. Ade di LyricWiki
(Indonesia) Halaman web lirik lagu dan kunci gitar Ebiet G Ade lengkap

Butet Kertaradjasa Pembaca Puisi Terkenal

Butet Kertaradjasa
Butet Kartaredjasa (bahasa Jawa: Buthèt Kartaredjasa; lahir di Yogjakarta, 21 November 1961; umur 53 tahun) adalah seorang pemeran teater dan pelawak asal Indonesia. Pada tahun 1996, Butet mendirikan Galang Communication, sebuah institusi periklanan dan studio grafis, yang kemudian diikuti dengan mendirikan Yayasan Galang yang bergerak dalam pelayanan kampanye publik untuk masalah-masalah kesehatan reproduksi berperspektif gender. Butet adalah anak dari Bagong Kussudiardjo, koreografer dan pelukis senior Indonesia. Ia merupakan saudara kandung dari Djaduk Ferianto.

Karier
Teater
Butet pernah bergabung di Teater Kita-Kita (1977), Teater SSRI (1978-1981), Sanggarbambu (1978-1981), Teater Dinasti (1982-1985), Teater Gandrik (1985-sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994), Teater Paku (1994), Komunitas seni Kua Etnika (1995-sekarang). Selain itu, Butet merupakan aktor yang biasa memerankan pentas secara Monolog. Aksinya yang sangat terkenal adalah dengan menirukan suara mantan presiden RI, Soeharto dalam setiap pementasannya.

Televisi
Ia pernah memerankan tokoh SBY (Si Butet Yogja) dalam Republik Mimpi di Metro TV dan pindah tayang di TV One yang merupakan pameo dari presiden RI, SBY. Selain itu ia juga memerankan beberapa film layar lebar seperti Maskot dan Banyu Biru. Selain itu ia juga tampil dalam beberapa iklan televisi, dan sinetron. Sejak 2010 bersama aktor Slamet Rahardjo, Butet bermain dalam program mingguan Sentilan-Sentilun di MetroTV.

Karier lainnya
Tahun 2011 bersama Agus Noor dan Djaduk Ferianto, Butet menggagas program INDONESIA KITA, sebuah forum pergelaran seni untuk meyakini kembali proses keindonesiaan melalui jalan kesenian dan kebudayaan. Sekarang Butet tercatat sebagai Ketua Yayasan Bagong Kussudiardja.

Filmografi
Petualangan Sherina (2000)
Banyu Biru (2005)
Koper (2006)
Maskot (2006)
Anak-Anak Borobudur (2007)
Drupadi (2008)
Jagad X Code (2009)
Tiga Doa Tiga Cinta (2009)
Capres (Calo Presiden) (2009)
Seleb Kota Jogja (SKJ) (2010)
Golden Goal (2011)
Soegija (2012)
Nada Untuk Asa (2015)
Pentas Monolog
Racun Tembakau (1986)
Lidah Pingsan (1997)
Lidah (Masih) Pingsan (1998)
Benggol Maling (1998)
Raja Rimba Jadi Pawang (1999)
Iblis Nganggur (1999)
Guru Ngambeg (2000)
Mayat Terhormat (2003)
Matinya Toekang Kritik (2006)
Sarimin (2007)
Presiden Guyonan (2008)
Kucing (2010)
Program Indonesia Kita
Program Indonesia Kita adalah pertunjukan berseri pada 2011 yang digagas oleh Butet Kertaradjasa. Ia mengaku program ini dirancang untuk menjadi sebuah forum di mana isu-isu kreatif seperti status Yogya dan pluralisme Indonesia dapat diperdebatkan melalui karya seni.

Berikut adalah daftar judul pertunjukan dalam serial Indonesia Kita:

Laskar Dagelan (Maret 2011)
Beta Maluku (Mei 2011)
Kartolo Mbalelo (Juli 2011)
Mak Jogi (Juli 2011)
Kutukan Kudungga (Oktober 2011)
Buku
Presiden Guyonan (2008)
Referensi
^ http://www.thejakartaglobe.com/arts/our-indonesia-on-the-stage/433638
^ http://hot.detik.com/read/2011/07/27/120846/1690429/1059/-mak-jogi--melacak-akar-budaya-yang-

Wiji Tukul Pembaca Puisi Terlarang

Wiji Tukul


Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963 – meninggal di tempat dan waktu yang tidak diketahui, hilang sejak diduga diculik, 27 Juli 1998 pada umur 34 tahun) adalah sastrawan dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya, dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer[1].

Keluarga
Thukul, begitu sapaan akrabnya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga Katolik dengan keadaan ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.[2]

Thukul Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh.[3]. Tak lama semenjak pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.[2]

Pendidikan
Thukul pernah bersekolah di SMP Negeri 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari.[2]. Thukul memutuskan untuk berhenti sekolah karena kesulitan keuangan. [4]

Aktivitas
Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.

Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker)
Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang.
April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.
Penyebab hilangnya Thukul
Kerusuhan pada Mei 1998 telah menyeret beberapa nama aktivis kedalam daftar pencarian aparat Kopassus Mawar.[2]. Diantara para aktivis itu adalah aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, JAKKER, pengusaha, mahasiswa, dan pelajar yang mengilang terhitung sejak bulan April hingga Mei 1998. [2]. Semenjak bulan Juli 1996, Thukul sudah berpindah-pindah keluar masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat.[2]. Dalam pelariannya itu Thukul tetap menulis puisi-puisi pro-demokrasi yang salah satu di antaranya berjudul Para Jendral Marah-Marah.[2]. Pada tahun 2000, Sipon melaporkan hilangnya Thukul pada KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), namun Thukul belum ditemukan hingga kini.[2]

Korban penculikan
Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.

Karya
Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi "Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru.

Dua kumpulan puisinya : Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain
Puisi: Bunga dan Tembok[5]
Puisi: Peringatan
Puisi: Kesaksian [1]
Prestasi dan penghargaan
1989, ia diundang membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut.
1991, ia tampil ngamen puisi pada Pasar Malam Puisi (Erasmus Huis; Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta).
1991, ia memperoleh Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting, Belanda, bersama WS Rendra.
2002, dianugerahi penghargaan "Yap Thiam Hien Award 2002"
2002, sebuah film dokumenter tentang Widji Thukul dibuat oleh Tinuk Yampolsky.

Rendra Pembaca Puisi Termahal

Rendra

W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan dari perguruan tinggi itu pulalah dia menerima gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak", ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater di Depok, Oktober 1985

Kehidupan Pribadi
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.

Pendidikan
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
SD s.d. SMA Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955).
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).
Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.

Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan '60-an, atau Angkatan '70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Bengkel Teater dan Bengkel Teater Rendra
Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya..Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, eboni, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong, dan lain-lain.

Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Penghargaan
Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954)
Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
Hadiah Akademi Jakarta (1975)
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
Penghargaan Adam Malik (1989)
The S.E.A. Write Award (1996)
Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Romantisme percintaan mereka memberi inspirasi Rendra sehingga lahir beberapa puisi yang kemudian diterbitkan dalam satu buku Empat Kumpulan Sajak.

Pada tahun 1971, Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat ditemani oleh kakaknya R. A. Laksmi Prabuningrat, keduanya adalah putri darah biru Keraton Yogyakarta mengutarakan keinginannya untuk menjadi murid Rendra dan bergabung dengan Bengkel Teater. Tak lama kemudian Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti mengenai masuknya Rendra menjadi Islam hanya untuk poligami. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini, yakni kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ke-3 yang memberinya dua anak, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, Yang Muda Yang Bercinta ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul Seni Drama untuk Remaja dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975.

Beberapa karya
Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Lysistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
Lingkaran Kapur Putih
Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
Shalawat Barzanji
Sobrat
Kumpulan Sajak/Puisi
Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Sajak-sajak Sepatu Tua
Mencari Bapak
Perjalanan Bu Aminah
Nyanyian Orang Urakan
Pamphleten van een Dichter
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Disebabkan Oleh Angin
Orang Orang Rangkasbitung
Rendra: Ballads and Blues Poem
State of Emergency
Do'a Untuk Anak-Cucu
Referensi
^ http://www.lokerpuisi.web.id/2011/12/puisi-puisi-ws-rendra-si-burung-merak.html
^ http://adibsusilasiraj.blogspot.com/2009/08/ws-rendra-terima-gelar-doktor-honoris.html
^ http://www.ugm.ac.id/id/berita/189-ws.rendra.akan.dikukuhkan.sebagai.doktor.honoris.causa.(hc).dari.ugm
^ http://www.life.viva.co.id/news/read/81017-mengapa_ws_rendra_dijuluki_si_burung_merak
^ http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/w/ws-rendra/index.shtml
^ http://truveotube.com/about/sebatang-lisong-rendra
Pranala luar
(Indonesia) W.S. Rendra di situs web Tokoh Indonesia
(Indonesia) W.S. Rendra di situs web Pusat Bahasa
(Indonesia) kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Si Burung Merak
(Indonesia) Kumpulan Puisi W.S Rendra
(Indonesia) Sajak Sebatang Lisong, ITB 1977